Menyelami Bali dalam Diri
Setiap kali terbang ke Bali, pemandangan yang sulit dihindari di
pesawat adalah banyaknya penumpang dengan rambut berwarna coklat. Kerap
terjadi, penumpang dengan rambut coklat lebih banyak dibandingkan
dengan yang berwarna hitam. Tidak sedikit diantara mereka yang sudah
datang ke Bali berkali-kali. Didorong rasa ingin tahu, ada yang
bertanya pada salah seorang wisatawan yang datang berulang-ulang. Dan
jawabannya agak mengejutkan, setiap kali dia datang ke Bali, seperti
selalu menemukan the hidden treasures of Bali. Bagian-bagian kekayaan
Bali yang tersembunyi, itulah yang kerap ditemukan wisatawan ini setiap
kali datang dan datang lagi.
Dipancing oleh komentar seperti ini, kalau orang luar yang datang ke
Bali, dan setiap kali datang menemukan bagian-bagian lain dari Bali
yang tersembunyi, adakah kita orang Bali juga menemukan the hidden
treasures of Bali? Ada seorang sahabat yang menemukan pengandaian
berguna dalam hal ini. Mendalami kehidupan (baca : menyelami Bali)
mirip dengan mengupas bawang merah. Semakin dikupas, semakin putih
warnanya. Tambah dikupas tambah putih lagi. Setelah dikupas semuanya,
tidak ada yang tersisa terkecuali air mata yang meleleh. Pertanyaannya
kemudian, banyakkah di antara orang Bali yang mengupas Bali, menemukan
wajahnya yang semakin putih dari hari ke hari, dan pada akhirnya
meneteskan air mata?
Pulau Persembahan
Dalam sebuah perjalanan, ketika sang hidup mulai menunjukkan
bimbingan-bimbingan makna, ada sahabat yang bergumam kecil: Bali dalam
bahasa Pali artinya persembahan. Ada yang kaget di dalam sini. Terutama
karena tidak ditanya, sahabat ini bertutur terus tanpa bisa
dihentikan. Padahal, yang bersangkutan bukan orang Bali, tidak tinggal
di Bali.
Bagi kita di Bali, setiap hari kita melihat persembahan. Ada
peneliti Belanda yang mengunjungi Bali di tahun 1920-an. Menurut
peneliti ini, orang Bali ketika itu tidak mengenal istilah kesenian
sebagai pertunjukan komersial. Semua gerak kehidupan (dari bertani
sampai menari), dilakukan sebagai serangkaian persembahan. Bila boleh
jujur, inilah silsilah spiritual orang Bali yang meletakkan semuanya
sebagai persembahan.
Wilayah-wilayah persembahan
Pemahaman dan pendalaman seseorang tentang sebuah wilayah, memang
amat ditentukan oleh seberapa tekun yang bersangkutan datang memahami
wilayah tersebut. Sebut saja seorang sahabat yang bertahun-tahun
pekerjaannya hanya melihat peta kota London. Tentu saja kedalaman
pemahamannya berbeda dengan seseorang yang belum pernah melihat peta
London, namun puluhan tahun sudah tinggal menetap di sana. Hal yang sama
juga terjadi dalam wilayah-wilayah persembahan.
Mempelajari peta (baca: mempelajari sastra) tentu saja baik dan
berguna. Namun, hanya dengan memandanginya, manusia hanya memahami
serangkaian wilayah secara amat terbatas. Berangkat, berjalan, lihat dan
pahami, itulah langkah-langkah yang dilakukan oleh setiap manusia
yang mau memahami serangkaian wilayah.
Hal yang sama juga terjadi dengan wilayah-wilayah persembahan.
Belajar tentang asal usul serta pilosopi persembahan tentu baik, tetapi
hanya yang melakoninya penuh kedalaman sekaligus keheningan yang bisa
tergetar di wilayah-wilayah persembahan.
Sebagaimana wilayah lain dalam kehidupan, wilayah-wilayah persembahan
juga ditandai oleh sejumlah keluhan. Tidak sedikit sahabat yang
mengeluh mahal. Bahkan ada segelintir orang yang berpikir pindah agama
karena mahalnya ongkos menjadi orang Bali. Bagi pencinta keheningan dan
kejernihan, pengertian sebagai peta memang bukan syarat mutlak dari
dimulainya perjalanan. Kerap terjadi, penekun keheningan dan kejernihan
aman serta nyaman berjalan bahkan tatkala tidak tahu. Melakukan
persembahan, itu dan hanya itu. Sering tidak bernama, tidak bersuara,
tidak ada tangan manusia yang mencatat. Namun, toh itu dilakukan terus
menerus.
Ada memang yang memberi sebutan bodoh akan hal ini. Ketika ditanya,
kenapa persembahannya seperti ini dan seperti itu, sebagian pencinta
keheningan malah bertanya balik: apa semuanya harus dimengerti? Sebagian
di antara yang sedikit itu bernama Eugen Herrigel. Dalam Zen in the
art of archery, ia menulis: lets stop talking and go on practicing.
Mari berhenti berdebat, lakukan persembahan terus menerus. Mengutip
pendapat guru Takuan, Herrigel juga menulis: perfection in the art of
swordsmanship is reached when the heart is troubled by no more thought
of I and You no more thought even of life and death. All is emptiness.
Kesempurnaan, menurut Takuan, dicapai ketika batin tidak lagi diganggu
oleh pikiran tentang saya dan Anda. Bahkan hidup mati pun sudah tidak
dipikirkan lagi. Semuanya hanya hening, sepi, sunyi.
Eugen Herrigel belajar Zen di Jepang. Takuan juga seorang guru pedang
dari Jepang. Dan kita di Bali tentu saja punya guru-guru yang tidak
kalah mengagumkannya. Bedanya, sedikit dari karya-karya guru kita
terdahulu yang ditulis serta disebarkan ke seluruh dunia. Sastranya,
sebagian bisa ditelusuri melalui nama-nama yang diberikan pada
tempat-tempat suci yang berumur tua dan lama. Di sebuah kawasan di
Kintamani Bangli, di mana alam memberi tanda-tanda dalam bentuk 11
gunung dan 11 patirtan (sumber air suci), tetua di sana memberi nama
salah satu Pura dengan nama Pura Puseh Meneng. Seperti sedang berbisik:
diam, tenang, hening, sepi. Dalam diam (meneng) seseorang sedang
berjalan di wilayah-wilayah persembahan.
Di desa Tajun Bali Utara, di bagian teratas batas desa yang berisi
sumber air yang tidak pernah habis, tetua memberi nama Pura dengan Pura
Mengening. Ini lebih jelas lagi, tidak ada yang lain kecuali: hening!
Sebagian mantra upacara orang Bali mulai dengan kalimat bhur bvah svah
(alam bawah, tengah dan atas) sebagai sebuah tatanan kosmik yang menyatu
rapi dalam diam dan hening.
Ini memberi inspirasi, persembahan memiliki beberapa wajah. 0rang
kebanyakan melakukan sembah raga. Kerja bakti, ngayah di Pura,
mejejahitan adalah sebagian contoh sembah raga. Dalam tingkatan
persembahan ini, manusia kebanyakan menggunakan badannya untuk
menyembah. Berikutnya sembah rasa. Di tingkatan ini, badan bukan
satu-satunya alat melakukan persembahan. Menyayangi semua mahluk, tidak
menyakiti. Intinya banyak memberi. Bukan karena mau dipuji. Tetapi
karena melalui rasa semuanya terhubung dalam sebuah jejaring yang rapi.
Bila menyayangi akan disayangi. Jika menyakiti akan disakiti. Dan di
jalan rasa ini, banyak yang meneteskan air mata. Bukan karena sedih,
melainkan karena jiwa mulai rindu pulang. Tingkatan ketiga adalah sembah
rahasia. Ini banyak dilakukan oleh orang-orang Tantra. Makanya dalam
Tantra ada guru hidup, guru buku suci, guru simbolik dan guru rahasia di
dalam diri. Itu sebabnya salah satu arti Tantra adalah rahasia. Dalam
bahasa tetua Bali: meneng, hening, sunyi, sepi, suwung, kolok.
Bila ada sahabat yang berjalan perlahan dalam diam dan hening di
wilayah-wilayah persembahan, sekaligus menyatu rapi dalam tatanan kosmik
bhur bvah svah, apa yang disebut wisatawan di awal tulisan ini dengan
the hidden treasures of Bali (kekayaan spiritual yang tersembunyi),
tidak lagi menjadi monopoli wisatawan. Ia juga menjadi kekayaan
orang-orang yang lahir, tumbuh, besar, tua dan mati di Bali. Dan ketika
menemukan Bali di dalam diri, air mata tanpa terasa menetes, karena
sangat tersentuh oleh demikian indah dan agungnya alam Bali. Tanpa
gerakan bibir ada yang berbisik di dalam sini: matur suksma! Yang dalam
bahasa sederhana diterjemahkan menjadi menghaturkan jiwa. Bahkan jiwa
ini pun ia persembahkan. Memodifikasi pendapat Mahatma Gandhi yang
menyebut my life is my true message, orang jenis terakhir akan berbisik
my life is my true offering. Hidup sayalah persembahan saya yang
sesungguhnya.
Mungkin itu sebabnya, Kahlil Gibran dalam The Prophet menulis: Your
life is your true Temple. Hidupmulah tempat ibadahmu yang sesungguhnya.
Siapa saja yang sudah sampai di sini, tersedia banyak sekali hal di
Bali yang bisa dibaca. Di kepala pulau Bali, di mana manusia bisa
melihat matahari terbit sekaligus matahari tenggelam, tetua memberi nama
desa dengan Kubutambahan. Kubu itu rumah, tambah itu positif. Rumah
untuk mereka yang berfikir positif. Di kaki pulau Bali, di mana manusia
bisa melihat matahari terbit sekaligus puncak Gunung Agung, nama desa
versi tetua adalah Sanur. Sa dalam bahasa Bali artinya satu. Nur itu
cahaya. Cahaya yang satu. Ubud yang berarti ubad (obat untuk
penyembuhan) terletak di Bali Tengah. Seperti sedang bercerita, bila mau
tersembuhkan (tercerahkan) jangan lupa mengambil jalan tengah. Semua
bentuk ekstrimitas dihindari.
Dengan teropong ini, tidak saja secara fisik Bali itu indah. Secara
spiritual juga indah sekali. Kaki melangkah diterangi cahaya yang satu,
kepala diisi dengan hal-hal positif. Sebagai hasilnya, hidup pun
tersembuhkan (tercerahkan). Cirinya, selalu melangkah di jalan tengah.
Dan puncak jalan tengah bernama Shunya, Embang, meneng, hening, sepi,
sunyi. Bukan sembarang sunyi. Bukan sunyi yang tidak peduli. Melainkan
sunyi yang diisi dengan menyayangi. Sebab sunyi baru sempurna bila diisi
menyayangi. Menyayangi baru sempurna bila dilakukan dengan batin yang
sunyi (baca: tanpa keakuan).
Merenda Agama Tirtha
C. Hooykas pernah menyebut praktek beragama di Bali dengan sebutan
agama Tirtha. Secara lebih khusus, karena hampir semua kegiatan upacara
melibatkan dan berujung pada penyucian menggunakan air suci (tirtha).
Setelah didalami salah satu karya C. Hooykas (Agama Tirtha, Five studies
in Hindu-Balinese religion, NV Noord-Hollandsche Uitgevers
Maatschappij Amsterdam 1964), ternyata tidak banyak mengulas asal
muasal sekaligus basis pilosofis dari apa yang ia sebut agama Tirtha.
Namun lebih pada mencatat, menafsirkan serta memberi pengertian tentang
sebagian praktek beragama di Bali ketika itu. Dari penjelasan tentang
Saraswati, Yama Raja, Padmasana, Siwa-Lingga sampai dengan Siva-Ratri.
Empat tiang penyangga
Berdiri di atas serangkaian hasil wawancara mendalam, studi
kepustakaan yang mengagumkan, serta pengamatan tangan pertama di
lapangan, praktisi sinematografi Mark Knobil melalui National Geographic
pernah bertutur tentang Bali dengan judul yang menawan: Bali,
Masterpiece of Gods. Ada dua hal yang menonjol dalam kesimpulan Knobil
tentang Bali. Pertama, kehidupan keseharian orang Bali adalah hasil
percampuran antara agama dan seni. Dan percampuran ini ditujukan untuk
sebuah nama Bali yang dalam bahasa Pali berarti persembahan. Kedua yang
bisa menjadi bahan merenda agama Tirtha ke depan, praktek keagamaan di
Bali berdiri di atas empat tiang penyangga : kecintaan akan alam, rasa
hormat pada leluhur, Hindu dan Buddha.
Kesimpulan pertama mengingatkan kita pada silsilah spiritual orang
Bali, di mana semua hal dalam kehidupan merupakan perpaduan antara agama
dan seni. Hasil perpaduan ini kemudian dipersembahkan. Sebagai
hasilnya, lihatlah tertata rapinya alam spiritual sekaligus alam
material Bali beratus-ratus tahun. Mirip dengan kehidupan orang Indian
di Amerika (sebagaimana disimpulkan antropolog Carlos Castaneda dalam
The Power of Silence), dalam kehidupan orang Bali hampir setiap tempat
adalah tempat suci. Lebih-lebih bagi tetua Bali yang dulunya hampir
semuanya bertani. Pekerjaan petani ketika itu tidak ubahnya dengan
pemuja Ibu pertiwi. Ketika ia membersihkan tanah dari kotoran maupun
rerumputan, mencangkul, membajak sawah, memupuk, semuanya hanyalah
rangkaian pemujaan pada alam dan Ibu pertiwi. Bisa dimaklumi kalau
konsep Tri Hita Kharana memperoleh banyak pendukung di Bali. Lebih-lebih
jika ditambah dengan hari raya tertentu yang mengucapkan terimakasih
pada alam semesta (tumpek kandang misalnya). Sehingga dalam totalitas,
soal kecintaan akan alam, sejarah Bali menyimpan catatan panjang
sekaligus mengagumkan.
Rasa hormat pada leluhur, ini juga sulit dibantah pada kehidupan
orang Bali dalam kurun waktu yang lama dan panjang. Hadirnya Pura
Merajan yang jumlahnya tidak terhitung, habisnya tidak sedikit waktu
orang Bali untuk memperjelas soroh. Upacara Ngaben dan upacara-upacara
lain sebagai penghormatan terakhir pada leluhur. Belum lagi ditambah
dengan diperlakukannya orang-orang tua di Bali secara lebih terhormat
dibandingkan dengan tempat-tempat lain di dunia (perhatikan jumlah panti
jompo di Bali dan bandingkan dengan jumlah panti yang sama di Barat
misalnya). Sehingga leluhur, dalam perspektif ini, menjadi sebuah tiang
penyangga keharmonian masyarakat Bali dalam waktu yang lama dan
panjang.
Berkaitan dengan Hindu, Bali juga demikian kayanya akan bukti. Dari
tempat ibadah yang banyak menyebut Dewa Hindu seperti Ciwa, Wisnu dan
Brahma. Sebutlah pura termegah yang bernama Besakih, demikian juga
Pura-Pura desa, semuanya mewakili ketiga nama Dewa dalam tradisi Hindu.
Ciwa memang sebuah sebutan yang paling banyak disebut (lengkap dengan
nama-nama lainnya), namun setelah peninggalan Guru Besar Mpu Kuturan di
abad ke sebelas, Bali seperti demikian ajegnya di bawah naungan tiga
nama besar : Ciwa, Wisnu dan Brahma. Di hampir semua pura desa,
ketiganya memiliki tempat masing-masing yang amat dihormati: Pura Dalem,
Pura Puseh dan Pura Bale Agung.
Unsur Buddha kendati oleh sebagian kecil orang Bali mau diingkari,
juga masih tersisa sampai sekarang. Bila berbicara pemetaan Pura di
Bali, tidak mungkin untuk tidak menyebut Pura Besakih dan Pura Ulun Danu
Batur. Dan di kedua tempat suci ini, sampai sekarang masih tersisa
tempat persembahyangan untuk umat Buddha. Di Pura Besakih bernama Pura
Ratu Gede Ngurah Subandar, di Pura Ulun Danu Batur diberi nama Pura
Konco. Bukti lain, tujuan olah spiritual ala tetua Bali disebut Moksha.
Ini mirip sekali dengan Pratimoksha (arahat) yang menjadi tujuan
pencapaian para sahabat di Hinayana. Almarhum Bapak IGB Sugriwa pernah
menterjemahkan salah satu kitab suci yang pernah ada di Bali yakni Sang
Hyang Kamahayanikan. Setelah dipelajari buku ini, ternyata acuannya
adalah sad paramita (enam kesempurnaan) yang menjadi kerangka melangkah
para sahabat di Mahayana.
Penentuan lokasi Pura ala tetua Bali dengan konsep Nyegara-Gunung,
Lingga-Yoni (lihat tulisan Purnama di tanah Tantra), mirip sekali
dengan jalan-jalan Tantrayana. Di Pura Pegulingan (Tampaksiring) masih
tersisa sampai sekarang sebuah stupa besar yang sama besarnya dengan
stupa di puncak Borobudur. Dan tetua menanam ye-te mantra di sana.
Sebuah mantra yang sangat menggetarkan bagi mereka yang mendalami ilmu
pembebasan.
Sebagaimana bangunan yang sebenarnnya yang memiliki empat tiang
penyangga, kekokohannya tentu ditentukan bukan oleh salah satunya namun
oleh keempat-empatnya. Preferensi berlebihan pada salah satu tiang, apa
lagi disertai oleh upaya sengaja melupakan tiang-tiang yang lain,
sangat mungkin menghadirkan guncangan-guncangan.
Bali dulu yang ratusan tahun bertumpu pada empat tiang ini (kecintaan
akan alam, hormat pada leluhur, Hindu dan Buddha) memang oleh beberapa
tokoh disebut dengan sebutan tradisional. Namun ia membawa kedamaian,
ketenteraman, keajegan yang mengundang decak kagum masyarakat dunia.
Demikian kagumnya, sampai-sampai disebut Pulau Dewata, Pulau Surga,
surga terakhir.
Bali sekarang memang diberi sebutan modern. Pendapatan per kapita
meningkat, pariwisata lebih maju dari dulu, bangunan-bangunan modern
juga menjulang di sana-sini, rata-rata pendidikan masyarakat juga
meningkat. Dan di zaman ini juga terjadi bom meledak. Sehingga para
pemimpin Bali menganggap perlu mengibarkan bendera Ajeg Bali
tinggi-tinggi.
Tidak semua yang terjadi dulu itu positif, tidak semua yang terjadi
sekarang ini negatif. Namun, manusia yang melupakan sejarah serupa
dengan rumput liar yang mudah sekali dicabut dan diterbangkan angin. Dan
sekarang menjadi pilihan kita semua orang-orang Bali, untuk merenung.
Akankah kita menjadi rumput liar, atau menjadi sekokoh pohon beringin
yang hadir di banyak sekali tempat sakral di Bali?
Bila mau jadi pohon beringin, tiang-tiang penyangga mana diantara
empat tiang ini yang kurang kita perhatikan? Ada sahabat yang menyebut
alam yang sakral ini telah dinodai. Ada yang menyebut kalau segi Buddha
dari masyarakat Bali sudah hilang. Ada juga yang menyebut Hindunya
keliru. Ada juga yang menganggap kita lupa leluhur. Entahlah,
perdebatan kadang perlu kadang juga tidak perlu. Logika dan bahasa kerap
membantu, kerap membelenggu. Yang jelas, melalui praktek keseharian
kita masing-masing, kita sedang merenda agama Tirtha. Akankah hasil
rendaan kita akan membuat Bali semakin kokoh, atau malah semakin
berguncang, tergantung bagaimana kita memandang agama. Bila agama
diletakkan sebagai kendaraan untuk memuaskan ego (praktek saya benar,
praktek orang salah), maka sampai kapan pun agama akan menjadi sumber
perpecahan.
Tirtha dalam keseharian
Bila kita sepakat bahwa agama warisan tetua Bali adalah agama Tirtha
yang meletakkan air suci sebagai unsur utama, mungkin layak merenungkan
dalam-dalam sifat air.
Pertama, air itu lentur sehingga bisa melewati semua halangan. Ini
memberi inspirasi, bila Bali mau melewati banyak penghalang, kembalilah
ke kelenturan. Perhatikan lagu anak-anak di desa tua Bali yang berbunyi
Dabdabang dewa dabdabang, mumpung dewa kari alit. Nak, dalam hidup
jangan lupa tenang, sabar, lentur. Lebih awal engkau mempelajarinya
lebih baik, begitulah kira-kira pesan tetua dalam hal ini.
Kedua, air senantiasa mengalir ke tempat yang rendah. Ia memberi
pelajaran tentang kerendahatian. Bukan kebetulan bila anak-anak di desa
tua Bali ketika pertama kali belajar bernyanyi diajarkan lagu eda
ngaden awak bisa yang mengajarkan kerendahatian.
Ketiga, secara kimiawi air dibentuk oleh unsur-unsur api. Hidrogen
itu api, oksigen adalah yang memungkinkan api terjadi. Namun kendati
unsurnya api, begitu diolah rapi ia menjadi lembut, sejuk dan halus. Ini
memberi pelajaran, kehidupan Bali boleh penuh api (bom teroris,
gantung diri dll), namun belajarlah mengolahnya agar jadi lembut, sejuk
dan halus. Dan puncak kelembutan dan kehalusan ketemu ketika mengerti
dalam-dalam hakekat nyepi dan shanti.
Carlos Castaneda seperti bisa mewakili kearifan tua orang-orang Bali.
Dalam The Power of Silence ia menulis : Silent knowledge is something
that all of us have. Something that has complete mastery. But it cannot
think, it cannot speak of what it knows. Ini mirip sekali dengan
orang-orang Bali dulu yang amat pendiam, murah senyuman, kaya
persahabatan. Semuanya diungkapkan dengan satu bahasa : diam. Bukan
sembarang diam, namun diam yang kaya rasa sekaligus kaya makna. Demikian
kayanya hingga tidak ada bahasa manusia yang bisa mewakilinya. Dalam
bahasa agama Tirtha, ini disebut manasa Tirtha. Air suci yang
dipercikkan di kedalaman batin. Lidah mana pun akan kurang panjang untuk
bisa menjelaskan manasa Tirtha.
Tata Ruang Bali Shanti
Setiap
orang Bali yang sembahyang ke Pura tahu, setelah selesai sembahyang
kemudian diperciki tirta (air suci), tatkala siap-siap meninggalkan
tempat sembahyang semua mengucapkan kata shanti (damai) tiga kali.
Sebuah pertanda sederhana, berkah spiritual yang kita bawa dari Pura ke
kehidupan keseharian adalah batin yang damai.
Sekaligus memberikan cahaya bimbingan, ketika manusia Bali mau
memutuskan hal-hal yang penting (apa lagi yang sangat penting seperti
rencana tata ruang pulau Bali ke depan), seyogyanya dibimbing oleh batin
yang damai. Adu argumentasi memang tidak bertentangan dengan batin yang
shanti, sejauh dilakukan untuk saling menginspirasi, bukan untuk saling
menyakiti.
Tata ruang spiritual
Keharmonisan antara alam material dan alam spiritual adalah sebuah
warisan tetua Bali yang berkontribusi tinggi terhadap Bali seperti yang
kita warisi. Menyadari ini, sebelum melangkah mendalam di tataran
ruang-ruang material, mungkin bijaksana bila kita mendalami ruang-ruang
spiritual orang Bali. Boleh saja orang lain di tempat lain menggunakan
pendekatan lain, namun warisan spiritual tetua Bali mengajarkan
barometer utama dalam melihat tata ruang spiritual adalah Parama Shanti.
Seberapa damai kita dalam keseharian.
Bagi orang Bali yang mata spiritualnya terbuka, dekat batinnya dengan
warisan tetua Bali, susah untuk tidak tersentuh atau menitikkan air
mata ketika mengetahui bom teroris meledak dua kali, angka bunuh diri
terus semakin tinggi, angka perceraian semakin meninggi dari hari ke
hari. Dan tentu masih bisa ditambah lagi dengan yang lain.
Bila menggunakan cara memandang lain, mungkin wajah spiritual Bali
juga lain, namun dalam teropong Parama Shanti, mungkin layak dikemukakan
sejumlah pertanyaan. Dibandingkan dengan tetua yang lebih miskin materi
dulu, adakah kita hidup lebih shanti? Dibandingkan dengan tetua yang
sebagian buta huruf namun rukun, adakah limpahan sarjana membuat kita
lebih shanti?
Dalam pandangan spiritual, di tempat atau putaran waktu di mana
keserakahan, kemarahan, iri hati, kebencian menjadi kekuatan yang
mengalahkan segalanya, di sana Parama Shanti menjadi barang langka.
Lebih dari itu, dalam kekeruhan keserakahan dan kebencian, setiap
langkah semakin mendekatkan manusia pada musibah.
Bercermin dari sinilah, mungkin pembahasan tentang tata ruang akan
lebih bersih sekaligus jernih bila dilakukan secara pelan perlahan
sekaligus penuh persahabatan. Serupa dengan tirta yang lagi keruh karena
berisi bunga, beras dll, hanya bila diletakkan dalam ketenangan
beberapa waktu ia bisa kembali bersih sekaligus jernih. Dalam bimbingan
kejernihan seperti ini, baru mungkin lahir solusi tata ruang jangka
panjang yang menyejukkan.
Tata Ruang Material
Entah bagaimana tetua Bali di tempat lain mengajarkan generasi
penerusnya. Di desa Tajun Bali Utara ada tetua yang mengajarkan konsep
luan-teben (hulu-hilir). Dengan perkecualian Pura Bukit Sinunggal yang
dulunya di hulu, kemudian karena perpindahan lokasi desa menjadi di
hilir, di hulu (luan) desa diletakkan semua kesucian, di hilir (teben)
ditempatkan hal-hal yang jauh dari kesucian. Namun, apa pun sebutan
kepada ruang-ruang di hilir, ia senantiasa ditempatkan
dalam kerangka Bhur Bvah Svah (semuanya bagian dari Tubuh Tuhan yang sama). Kaki memang di bawah, kepala memang di atas. Namun tanpa kaki, kepala sangat terhambat kegiatannya. Kesucian memang menggetarkan, tetapi kekotoran yang membuatnya semakin bercahaya.
dalam kerangka Bhur Bvah Svah (semuanya bagian dari Tubuh Tuhan yang sama). Kaki memang di bawah, kepala memang di atas. Namun tanpa kaki, kepala sangat terhambat kegiatannya. Kesucian memang menggetarkan, tetapi kekotoran yang membuatnya semakin bercahaya.
Kendati demikian, kepala dan kaki memiliki penutup (pelindung) yang
berbeda. Kaki penutupnya sepatu. Kepala penutupnya destar. Meletakkan
sepatu di kepala, atau destar di kaki akan mudah menjadi awal kekacauan
kosmik (cosmic disorder).
Di desa Tajun dan desa-desa tetangga, ada yang melanggar ketentuan
luan-teben ini. Sebagai contoh, kuburan yang seyogyanya terletak di
teben, diletakkan di luan. Sebagai akibatnya, bertahun-tahun terjadi
kekacauan kosmik yang menakutkan di tempat ini (pembunuhan, bunuh diri,
gantung diri dan sejenisnya).
Menata kembali ruang kosmik, inilah yang layak diendapkan dalam-dalam
ketika kita harus menata ulang tata ruang. Di wilayah hulu (bila kita
sepakat menggunakan pegunungan di tengah pulau Bali sebagai acuan kaja),
akan bagus sekali bila diputuskan radius di mana semua bentuk kegiatan
pariwisata ditiadakan, hunian manusia dibatasi. Bila mana perlu
pepohonan tua pun dilarang untuk ditebang.
Namun karena ini akan memberikan disinsentif merugikan kepada warga
dan pemilik tanah yang hidup di sana, mungkin layak memberikan insentif
agar tidak terjadi penolakan. Misalnya, memberikan mereka bibit-bibit
secara gratis, harga pupuk yang lebih murah, sekaligus fasilitas
memprioritaskan menampung hasil pertanian mereka di hotel-hotel di Bali.
Pantai sebagai wilayah hilir memang tidak selalu diletakkan sebagai
teben terutama karena banyak Pura suci yang ada di sana. Ini juga
serupa. Segera disepakati secara jernih wilayah jangkauan kesucian Pura
sehingga tatanan kosmik terjaga baik. Pola insentif (sebagaimana wilayah
pegunungan) juga layak dipertimbangkan.
Dan karena tanda-tanda kekacauan kosmik sudah terlihat jelas dan
transparan, inilah saatnya diperlukan ketegasan sikap para pihak
terkait, agar tata ruang dikembalikan ke posisi sebagaimana kita terima
dari tetua Bali. Keadaannya serupa dengan Krishna yang harus turun
bertempur menemani Arjuna. Dalam bagian yang amat kritis, Krishna bahkan
memerintahkan Bima memukul kaki Duryodana. Diperlukan banyak keberanian
dan ketegasan agar ruang-ruang kosmik bisa kembali ke posisi semula.
Kembali ke cerita parama shanti, bagi pekerja, damai berarti keadaan
tersedianya pekerjaan. Di mata pertapa, damai adalah buah dari welas
asih kita pada semua mahluk. Untuk penyembah (bakta), damai adalah
keadaan batin yang sujud dan penuh bakti. Dan bagi elit yang lahir di
waktu ketika kekacauan kosmik terjadi di mana-mana, shanti adalah
keberanian untuk mengembalikan tatanan ke bentuk aslinya sebagai Bhur
Bvah Svah. Yang di bawah kembalikan ke bawah, yang di tengah kembalikan
ke tengah, yang di atas kembalikan ke atas. Inilah tata ruang Bali
Shanti. Warisan terpenting yang bisa kita berikan kepada generasi
berikutnya.
Purnama Di Tanah Tantra
Purnama bukan saja malam terang di mana banyak orang
bersembahyang. Tetapi juga membawa pesan simbolik, di mana semua
kegelapan malam diterangi cahaya bulan dari langit. Bila boleh jujur,
kehidupan berisi banyak kegelapan. Dari kebodohan, kebingungan,
kemarahan sampai kebencian. Itu sebabnya, tujuan akhir perjalanan
spiritual disebut enlightenment (pencerahan). Ada kata light (cahaya) di
tengahnya. Ini serupa dengan warisan spiritual tetua Bali yang
mengkaitkan banyak kegiatan spiritual dengan muncul dan lenyapnya
cahaya.
Agak berbeda dengan tempat lain umumnya di dunia di mana
persembahyangan dilakukan hanya di malam terang, diarahkan untuk tujuan
terang, di Bali kita diwarisi tetua bersembahyang baik di malam terang
maupun malam gelap. Persembahan (suguhan) tidak saja ditujukan untuk
yang atas, tetapi juga untuk yang di bawah. Bila salah menjelaskan,
segelintir anak muda Bali akan mengira tetuanya mengajarkan memuja
setan. Untuk itulah, mesti ada yang membahasakan warisan tetua dalam
bahasa kekinian.
Pohon beracun
Ada berbagai cara menjelaskan perjalanan spiritual. Salah satu
pendekatan yang mudah dicerna adalah dengan melihat kehidupan sebagai
pohon beracun. Banyak sekali racun dalam kehidupan. Dari kemarahan,
kebencian, kebingungan, bahkan judul suci dan tercerahkan pun bisa
membuat keracunan. Terutama karena merasa diri suci atau tercerahkan,
kemudian merasa paling benar, dan marah besar tatkala tidak diikuti.
Untuk itulah, langkah pertama adalah menjauh dari racun-racun
kehidupan. Di Hindu disebut tapa brata yoga samadhi, di Buddha petapa
menjaga dirinya dengan sila, vinaya, bodhichitta, samaya. Intinya satu,
melatih diri keras-keras agar tidak dibawa pergi oleh arus kehidupan
yang beracun.
Andaikan seseorang sudah melatih disiplin diri selama dua puluh tahun
berturut-turut, itu masih sangat pendek dibandingkan lamanya manusia
mengotori batinnya selama berjuta-juta kehidupan. Untuk itu, langkah
menjauh dari pohon beracun ini menjadi langkah sulit dan lama.
Tidak perlu menunggu sempurna (karena manusia tidak pernah sempurna),
begitu batin cukup bersih (tandanya berhenti dicengkram kebencian dan
kemarahan, lapar berbuat baik), maka langkah kedua terbuka. Disarankan
untuk kembali ke kehidupan sehari-hari namun dengan tugas mulia: menjaga
jangan sampai terlalu banyak mahluk mati keracunan.
Mereka yang panggilan hidupnya jadi orang suci memimpin upacara. Yang
jadi guru membimbing masyarakat dengan Dharma. Yang menjadi penulis
menulis dengan kesejukan dan kelembutan. Bahkan menjadi orang tua pun
termasuk menjalani tugas kedua ini. Esensinya satu, membimbing mahluk
memasuki gerbang kebajikan.
Dalam tugas ini, tidak saja yang dibantu yang memperoleh manfaat,
yang membantu malah mendapat manfaat lebih besar. Terutama karena
tugas-tugas pelayanan membuat Dharma semakin menyatu dengan batin ini.
Dalam bahasa Mahatma Gandhi: “Life spent in service is the most fruitful
life”. Kehidupan yang diisi pelayanan, itulah kehidupan yang paling
menggetarkan. Kabir lain lagi: “l glimsed into that light few seconds,
it transformed me into a servant of life”. Cahaya itu muncul beberapa
detik, ia merubah seorang penyembah menjadi pelayan.
Dengan modal Dharma yang sudah membadan inilah, baru seseorang boleh
memasuki wilayah ketiga (Tantra): merubah racun menjadi obat kehidupan.
Bali dan Balian
Mungkin itu sebabnya sebagian orang Bali yang sudah memperoleh berkah
spiritual kemudian menjadi balian (penyembuh). Tidak saja penyembuh
fisik, namun juga jiwa. Jiwa tersembuhkan sepenuhnya bila ia sudah
mengalami pencerahan (the ultimate healing). Dalam bahasa seorang guru
zen: pencerahan adalah danau biru dan bukit menghijau. Sederhananya,
semuanya sempurna apa adanya.
Bila semuanya sudah sempurna apa adanya, tidak lagi tertarik
berdebat, apa lagi menyebut orang lain salah. Mungkin ini sebabnya tetua
Bali memberi sebutan Tuhan dengan Sang Hyang Embang (Yang Maha Sunyi),
merayakan tahun baru dengan hari Nyepi, menyebut puncak persembahyangan
dengan Parama Shanti (the ultimate peace), memberi tanda di titik pusat
Pura Besakih di antara Kiwa-tengen dengan Shunya (keheningan yang tidak
perlu dijelaskan), melihat keseharian dengan rwa bhineda.
Ada berbagai jalur yang tersedia untuk memahami Tantra. 0sho dalam
The book of secret, menggunakan Vigyam Bhairava Tantra. J.Krishnamurti
menggunakan Freedom from the known. Bebas dari segala konsep. Ramana
Maharshi berjumpa Tantra setelah diam puluhan tahun, menyebut ajarannya
Dhaksina Murti: Shiva yang bisa dijumpai di kedalaman keheningan.
Dalam Anuttarayogatantra (kesempurnaan agung, Professor Daniel Cozort
dari Universitas Virginia menyebutnya Highest Yoga Tantra), akar guru
Tantra bernama Shamantabhadra. Ia disimbolkan dengan Pertapa telanjang
yang memangku wanita telanjang. Bibirnya dalam posisi berciuman. Ini
yang membuat segelintir sahabat di Barat tergelincir ke dalam kesimpulan
berbahaya bahwa Tantra adalah seks bebas. Memang semua (termasuk seks)
bisa ditransformasikan menjadi jalan spiritual dalam Tantra. Namun
jangankan murid, guru pun jarang yang berani menggunakan seks sebagai
jalan spiritual karena amat sangat berbahaya. Dalam sejumlah teks
disebutkan, Shamantabhadra berarti memberikan ruang baik pada kesucian
maupun ketidaksucian. Dalam teks lain, Shamantabhadra berarti semuanya
baik.
Sementara kebanyakan orang mempertentangkan suci dan kotor, Tantra
melampauinya. Perang, pertempuran, perkelahian semuanya berebut menyebut
diri suci dan benar, serta melemparkan kekotoran, kesalahan pada pihak
lain.
Mungkin itu maksud tetua Bali dengan warisan spiritual Lingga-Yoni
dan Nyegara Gunung sebagai titik berangkat dalam menentukan posisi
tempat suci, membuat sesajen, di mana spirit maskulin lebur dengan
spirit feminim. Di Kintamani dan Uluwatu, keduanya malah menyatu ke
dalam keindahan.
Di tingkat-tingkat awal belajar Tantra, murid diminta menyembah Dewa.
Ini mirip sekali dengan praktek persembahyangan di Bali. Di tingkat
berikutnya, bersahabat dengan Dewa. Selanjutnya rahasia. Makanya ada
guru menyebut Bali sebagai pulau Tantra.
Guru-guru Tantra melihat dalam meditasi sarva dharma. Semuanya serba
Dharma. Tatkala seluruh dualitas (suci-kotor, benar-salah, baik-buruk,
sukses-gagal) adalah Dharma, lidah jadi kelu. Tidak ada lagi yang layak
ditanyakan, apa lagi diperdebatkan. Bukankah ini yang dimaksud
pencerahan adalah danau biru dan bukit menghijau?.
Seorang putera bertanya ke papanya, bila semua adalah Dharma, berarti
korupsi, selingkuh juga Dharma? Dengan lembut papanya menjawab:
“memandanglah seperti langit, bertindaklah seperti bumi”. Langit
memayungi apa saja dan siapa saja tanpa keserakahan memilih. Tidak ada
pengkotak-kotakan Dharma-Adharma bagi langit. Namun di bumi, bila
menanam kelapa dapatnya kelapa, menanam ketela dapatnya ketela. Begitu
juga ketika bertindak, ia yang mencuri akan diciduk polisi. Ia yang
menyayangi akan disayangi.
Dalam pandangan ala langit, kaya baik miskin juga baik. Dengan
kekayaan lebih banyak yang bisa dibantu. Melalui kemiskinan kehidupan
sedang mengajarkan kerendahatian. Sehat baik, sakit juga baik. Kesehatan
adalah kesempatan untuk banyak berdoa. Sakit adalah kesempatan membayar
hutang-hutang karma.
Dalam bertindak ala bumi, semua ada hukumnya. Ia sesederhana
menyentuh air basah, memegang api terbakar. Ia yang di dalamnya
kebencian akan mengundang kebencian di mana-mana. Ia yang di dalamnya
cinta akan berjumpa cinta di mana-mana.
Inilah purnama di tanah Tantra. Berjumpanya Ayah langit dengan Ibu
pertiwi. Kebingungan dalam memandang diterangi oleh cahaya bulan dari
langit. Kebingungan dalam bertindak dibimbing cinta Ibu pertiwi. Makanya
ada yang menulis “realization is the total collapse of confusions”.
Ketika jiwa sepenuhnya sembuh, seluruh bangunan kebingungan mengalami
keruntuhan. Menyisakan sebuah kehidupan yang terang benderang yang
berisi kasih sayang.
Perhatikan apa yang ditulis Ezra Bayda dalam At Home In The Muddy
Water: May we exist like a lotus. At home in the muddy water. Thus we
bow to life as it is. Guru-guru tercerahkan di luarnya juga mengalami
naik-turun (sehat-sakit, dipuji-dicaci, disebut baik disebut munafik
dll). Bedanya dengan orang kebanyakan, apa pun yang terjadi dalam
kehidupan, manusia tercerahkan sama sekali tidak tersentuh. Persis
seperti bunga Padma, di air tetapi tidak basah, di lumpur namun tidak
kotor. Sebaliknya malah bertumbuh dan mekar di lumpur. Karena itulah
bisa membungkuk hormat pada kehidupan apa adanya.
Di tingkatan ini, tentu bukan kebetulan kalau Guru Besar Mpu Kuturan
di abad ke-11 pernah melihat Bali dengan mata spiritual kemudian
menyebut Bali dengan Padma Bhuwana (alam semesta yang menyerupai bunga
Padma), atau Ida Dhang Hyang Dwi Jendra di abad ke-16 yang memberi kita
warisan Padma Sana (tempat duduk di atas bunga Padma).
Dalam
banyak hal, Barat membawa tanda-tanda ke mana peradaban akan bergerak.
Sejumlah hal yang terjadi di Barat (industrialisasi, demokrasi) kemudian
mewabah ke seluruh dunia. Satu pertanda kuat yang terjadi setengah abad
terakhir di Barat adalah betapa laparnya manusia akan kedamaian.
Perhatikan buku-buku yang menggunakan kata damai sebagai judul,
jumlahnya berlimpah. Sebagai contoh, Thich Nhat Hanh salah satu karyanya
berjudul Peace Is A Step. Thomas Merton menggunakan Thought In Solitude
sebagai judul. Karya terindah Eckhart Tolle berjudul Stillness Speaks.
Semuanya bertutur tentang kedamaian dan keheningan menawan.
Bali juga kerap diidentikkan dengan kedamaian dan keheningan. Ini
tidak saja hasil promosi pariwisata, namun juga terlihat dalam warisan
spiritual para tetua. Perhatikan cara tetua mengakhiri pembicaraaan
(khususnya pembicaraan resmi) selalu diakhiri dg 0m shanti, shanti,
shanti. 0m adalah aksara sakral. Melambangkan banyak hal, namun dari
yang banyak itu semuanya mewakili kesucian dan kedamaian. Shanti (damai)
disebutkan bahkan tiga kali. Seperti sedang memberi inspirasi, setiap
kali mengakhiri sebuah wacana (lisan, tulisan, doa), jangan lupa
ditujukan untuk membuat hati menjadi damai dan hening.
Semua ingin damai dan hening. Perhatikan nama-nama yang diberikan
orang tua. Semuanya indah.Tidak pernah terdengar ada umat Hindu yang
memberi nama anaknya Rahwana atau Duryodana. Tidak pernah terdengar ada
umat Buddha bernama Devadatta (sepupu Siddharta Gautama yang
berulang-ulang mau membunuh Buddha karena dengki). Ini berarti, di
tingkat aspirasi semua manusia ingin damai. Di desa-desa tua Bali, masih
tersisa nama-nama seperti Wayan Sabar, Nengah Tenang, Nyoman Terima,
Ketut Polos. Seperti mau berpesan, bila ingin damai jangan lupa sabar.
Kesabaran menjadi awal ketenangan. Kemudian ketenangan ini yang membuat
manusia bisa menerima kehidupan tanpa keluhan. Ujung-ujungnya, hidup pun
mengalir polos apa adanya.
Tumpek Landep
Dari sekian banyak hari suci di Bali, tumpek landep adalah salah satu
pertanda. Dalam bahasa kebanyakan, ia adalah hari menyucikan
barang-barang yang lancip seperti keris. Sebuah cara memandang yang
layak dihormati. Dari sudut pandang lain, keadaan lancip serupa dengan
puncak gunung. Ia bisa didaki baik dari kiri maupun kanan. Ini serupa
cerita dua pendaki gunung yang mendaki dari arah timur dan barat. Dari
puncak gunung, gurunya bertanya di pagi hari: matahari terbit dari arah
mana? Pendaki dari timur menjawab di belakang, sedangkan pendaki dari
barat menyebut dari depan. Dan riuhlah perdebatan diantara keduanya.
Depan-belakang, belakang-depan, gurunya senyum-senyum sambil berdoa di
puncak gunung. Begitu keduanya sampai di puncak, baru mengerti sekaligus
malu pernah saling menyalahkan.
Bila boleh jujur, cerita kedua pendaki ini adalah cerita orang
kebanyakan. Di Bali tidak ada yang berani menyebut diri berjalan di
jalan-jalan kiri. Salah-salah rumah dibakar orang. Nyaris semua orang
sibuk menyebut diri berjalan di kanan, lebih sibuk lagi menghakimi orang
yang dibenci dengan sebutan kiri.
Dan sejarah bertutur jernih, tidak semua orang kiri masuk neraka.
Walmiki di Hindu adalah sebuah cerita indah. Setelah menghabiskan banyak
waktu merampok dan membunuh, di suatu waktu ia merampok rumah orang
suci. 0rang suci ini kemudian minta Walmiki balik ke rumah bertanya
apakah keluarganya mau menanggung dosanya. Dan ternyata, tidak ada
anggota keluarga yang mau menanggungnya. Maka sujudlah Walmiki di kaki
orang suci tadi, kemudian duduk meditasi hingga dosa-dosanya terobati.
Setelah sekian lama, seluruh tubuhnya dikerubuti semut. Makanya salah
satu arti Walmiki adalah rumah semut. Dari sinilah terbuka cakrawala
baru hidup seorang Walmiki sehingga bisa menulis Ramayana.
Jetsun Milarepa di Tantra mengalami hal serupa. Setelah ayahnya
meninggal, seluruh warisan diambil oleh paman dan tantenya. Ibunya
dendam tidak ketulungan. Ketika anaknya dewasa, disuruh belajar santet
sebagai persiapan pembalasan. Selesai belajar santet, Milarepa mengirim
energi buruk ke rumah paman dan tantenya. Akibatnya pesta pernikahan
meriah berubah menjadi rumah runtuh yang bersimbah darah. Puluhan orang
meninggal.
Rasa bersalah yang mendalam membuat Milarepa bersumpah untuk membayar
dosa-dosanya. Dan benar, di tangan gurunya Marpa, Milarepa dilatih
sampai berdarah-darah selama bertahun-tahun. Ujung-ujungnya Milarepa
mengalami realisasi spiritual tingkat tinggi. Berulang-ulang banyak
orang melihat dia terbang ke langit. Ketika sudah tua ada pertemuan di
puncak gunung, sehingga tidak mungkin ia mengikutinya. Namun kekuatan
doanya bisa membuat puncak gunung merunduk di depan kaki Milarepa. Dan
ketika wafat, dari semua penjuru bermunculan cahaya. Dalam garis
guru-guru Tantra, Milarepa dicatat sebagai salah satu guru menentukan
setelah Tilopa, Naropa dan Marpa.
Apa yang mau diceritakan di sini, tentu saja bukan anjuran belajar
santet. Namun serangkaian inspirasi, tidak semua orang yang diberi judul
buruk ternyata ujung hidupnya busuk. Dalam cerita Walmiki dan Milarepa,
keburukan hanyalah pintu pembuka untuk bertobat. Kemudian menggunakan
perasaan dosa berlebihan sebagai energi untuk berlatih sehingga
mengalami realisasi tingkat tinggi. Sekaligus menjadi bahan renungan
bagi orang yang suka menghakimi, untuk tidak mudah mengotori diri dengan
cacian dan makian.
Dalam bahasa orang bijaksana, semuanya sedang bertumbuh. Walmiki dan
Milarepa memulai di jalan kiri. Kendati dicaci, ujung-ujungnya mengalami
realisasi tingkat tinggi. Kebanyakan orang suci memang mengambil
jalan-jalan kanan: menghentikan perbuatan jahat, memperbanyak perbuatan
baik, memurnikan pikiran. Mahatma Gandhi, Vivekananda di Hindu, HH Dalai
Lama, Thich Nhat Hanh di Buddha, Jalalludin Rumi, Kabir Sahib di Islam,
Thomas Merton, Santo Fransiscus di Krisitianitas hanyalah sebagian
contoh orang suci yang berjalan di kanan. Namun menghakimi orang kiri
dengan cacian berlebihan, bukanlah ciri-ciri orang kanan yang sudah
berjumpa kebijaksanaan.
Di desa Tajun Bali Utara diwariskan, setiap anak laki-laki tertua
dipanggil kolok (bisu). Perhatikan kata kolok baik-baiki, dari kanan ke
kiri terbaca kolok, dari kiri ke kanan terbaca kolok. Seperti mau
berpesan, kiri maupun kanan akan sampai di tempat yang sama. Mungkin itu
sebabnya, di akhir hidupnya Ida Danghyang Dwijendra menulis karya indah
berjudul Dharma Shunya. Tidak hanya dalam keriuhan kata-kata ada
Dharma. Di kedalaman keheningan juga ada Dharma.
Panca sembah: dari kosong ke kosong
Setiap orang Bali yang rajin sembahyang di pura tahu, kita diajari
tetua untuk melakukan panca sembah (menyembah lima kali). Uniknya,
diawali dengan tangan kosong (sembah puyung) diakhiri dengan tangan
kosong. Namun kekosongan sempurna adalah sesuatu yang nyaris tidak
mungkin dijelaskan dengan kata-kata. Dalam pesan seorang sahabat,
constructing emptiness is a mistake. Mencoba menerangkan kekosongan
adalah sebuah kekeliruan. Namun seberapa keliru pun, karena kata-kata
adalah medium komunikasi untuk orang kebanyakan, banyak guru terpaksa
melakukannya. Terutama karena ajaran harus berputar.
Ada cerita tentang orang tua bijaksana di pinggir hutan.
Kesehariannya hanya diam, senyum dan berdoa, sehingga orang desa
menghormati dan mencintainya. Suatu waktu ada gadis desa yang hamil
tanpa suami. Di tengah amarah mencekam, gadis ini ditanya siapa yang
menghamili. Dengan ketakutan wanita ini menunjuk orang tua di pinggir
hutan. Kontan saja orang murka dan membawa gadis hamil ini ke pinggir
hutan. Setelah semuanya memaki, mencaci, menyebut munafik, kemudian
diserahkan gadis tadi untuk diajak tinggal bersama. 0rang tua ini hanya
berucap pendek: baiklah!.
Sekian tahun kemudian, setelah anaknya lahir, Ibu muda ini dihinggapi
rasa bersalah mendalam. Ia datangi orang tuanya sambil menangis: “Bukan
orang tua di pinggir hutan yang menghamili saya. Disamping itu, saya
amat tersentuh oleh kebaikannya bertahun-tahun. Satu kali pun saya tidak
pernah diganggu selama tinggal bersama”.
Mendengar pengakuan polos ini, lagi-lagi orang desa mendatangi orang
tua di pinggir hutan sambil meminta maaf. Kali ini pun jawaban orang tua
bijaksana ini tetap sama: “baiklah!”. Inilah kekosongan yang
sesungguhnya!. Keadaan batin yang bersih, jernih sempurna. Sehingga
tidak ada satu pun cacian dan makian yang membuatnya bergoyang.
Di jalan Advaita Vedanta ini disebut Nirvikalpa Samadhi. Advaita
sederhananya berarti keadaan tanpa dualitas (baik-buruk, suci-kotor).
Dan Nirvikalpa Samadhi dalam bahasa meditasi disimplifikasikan ke dalam
posisi ke empat. Kanan bukan, kiri bukan, tengah bukan, itulah
Nirvikalpa Samadhi.
Di jalan-jalan Tantra, ia disebut Rigpa (nothing positive to accept,
nothing negative to reject). Tidak ada kesenangan yang membuat seseorang
melekat, kemudian sengsara ketika kehilangan. Tidak ada kesedihan yang
membuat ia menderita. Sebuah keadaan batin yang lepas bebas.
Parama shanti sehari-hari
Di salah satu cuplikan kehidupan Sang Rama kecil, Sugriwa kecil mengeluh karena tidak pernah menang berkelahi melawan Subali kecil. Kasihan melihat kawan kecilnya, ketika Sugriwa dan Subali berkelahi, dari balik pohon kaki Subali dipanah Sang Rama hingga terluka. Dan sekian waktu kemudian ketika Sang Rama reinkarnasi menjadi Shri Krishna, beliau istirahat tidur di tengah hutan.
Di salah satu cuplikan kehidupan Sang Rama kecil, Sugriwa kecil mengeluh karena tidak pernah menang berkelahi melawan Subali kecil. Kasihan melihat kawan kecilnya, ketika Sugriwa dan Subali berkelahi, dari balik pohon kaki Subali dipanah Sang Rama hingga terluka. Dan sekian waktu kemudian ketika Sang Rama reinkarnasi menjadi Shri Krishna, beliau istirahat tidur di tengah hutan.
Salah satu ciri orang suci ketika itu, telapak kakinya berisi gambar
bunga padma berwarna emas yang bersinar. Dari kejauhan, bunga padma
bercahaya di kaki Shri Krishna ini dikira mata rusa oleh pemburu. Tanpa
ragu-ragu, dibidikkan panah mengenai kaki Shri Krishna sehingga terluka.
Kontan saja pemanahnya sujud minta maaf, namun pemilik kaki hanya
senyum-senyum melihat karma berputar.
Inilah ciri guru dengan realisasi spiritual tingkat tinggi. Tidak ada
kelebihan yang memunculkan kesombongan, tidak ada kesialan yang memicu
kemarahan. Sekaligus memberi rahasia indah tentang karma: mengalirlah
bersama karma, karena di sana tersembunyi rahasia keindahan kehidupan.
Tetua Bali membukakan pintu melalui Rwa Binedha. Dua hal yang berbeda
sekaligus sama. Kebahagiaan-kesedihan, surga-neraka keduanya berbeda
sekaligus sama. Bagi orang biasa, keduanya terlihat berbeda (kebahagiaan
dikejar kesedihan dicampakkan, surga dipuja neraka dicerca). Itu
sebabnya orang biasa hidupnya berguncang. Dan bagi para Yogi,
kebahagiaan jadi mendalam karena ada kesedihan, surga menyala karena ada
kegelapan neraka. Jadi tidak ada kebahagiaan yang perlu dikejar, tidak
ada kesedihan yang perlu dicampakkan. Tidak ada surga yang butuh dipuja,
tidak ada neraka yang perlu dicerca. Itu sebabnya para Yogi mengalami
batin yang tenang seimbang. Makanya salah satu buah meditasi bernama
boundless capacity to suffer (kemampuan untuk menderita secara tidak
terbatas). Semuanya disambut dengan diam, senyuman serta doa semoga
semua berbahagia. Dalam bahasa tetua Bali, ia disebut Embang (Maha
Sunyi). Ini bisa terjadi ketika seseorang sudah mengalir sempurna
bersama karma. Sekaligus memberi inspirasi, inilah Parama Shanti.
Parama Shanti
Setiap tempat memiliki keunikan spiritual. Keunikan spiritual Peru diceritakan secara amat menarik oleh James Redfield dalam The Celestine Prophecy. Keindahan spiritual Tibet dituturkan secara menawan oleh Sogyal Rinpoche dalam The Tibetan Book of Living and Dying. Keunikan spiritual Jepang ditulis rapi oleh Inazo Nitobe dalam Bushido, The Soul of Japan. Dan keindahan India ditulis banyak sekali orang, salah satunya oleh 0sho dalam India My Love.
Bali juga sudah ditulis oleh banyak pihak. Mudah-mudahan nanti ada yang menulis keindahan spiritual Bali dengan menggunakan Parama Shanti (ultimate peace atau damai yang maha utama) sebagai acuan. Sebuah kegiatan yang dilakukan oleh nyaris semua orang Bali ketika mengakhiri persembahyangan di Pura.
Dari
segi urutan persembahyangan, Parama Shanti diletakkan di ujung
persembahyangan, persis ketika umat siap-siap meninggalkan tempat
sembahyang. Ada
dua kemungkinan pesan yang tersisa di sini. Pertama, ia adalah puncak
persembayangan itu sendiri. Kedua, berkah spiritual yang dibawa umat
sehabis sembahyang dari Pura ke dunia keseharian adalah keadaan batin
yang damai (shanti).
Bhur Bwah Swah
Berbagai
macam cara yang tersedia bagi manusia untuk mengecek kevalidan sebuah
kesimpulan. Ilmuwan melakukannya dengan menggabungkan logika (rationalism) dengan fakta sejarah (empirism). Pencinta
buku suci mencocokkannya dengan ayat ayat asli buku suci. Dan semua
cara tentu layak dihormati. Namun bagi pencinta kepekaan, ketulusan dan
keiklasan, ia akan membuka telinga dan mata batinnya lebar-lebar, untuk
mendengar suara guru di dalam diri.
Siapa
yang rajin sembahyang di Bali khususnya, di tempat ibadah Hindu umumnya
akan mendengar, sebuah mantra yang paling banyak dilafalkan adalah yang
mengurai kata Bhur Bwah Swah. Alam
bawah, alam tengah, alam atas sebagai satu kesatuan. Di banyak Padma
Sana bahkan digambarkan, bagian bawah berwajah seram menakutkan, bagian
tengah mulai berwajah tanpa ketakutan, bagian atas diukir penuh dengan
keindahan.
Bila boleh jujur, ini cerita Parama Shanti.
Dengan tetap menghormati pihak lain yang berpendapat berbeda, lebih
dari sembilan puluh persen perdebatan di dunia spiritual
mempertentangkan Tuhan dengan setan. Tuhan-nya dihormati, setannya
dicaci. Sekali lagi cara memandang ini layak dihormati. Namun dalam Bhur Bwah Swah, pertentangan
Tuhan dan setan berhenti. Terutama karena keduanya bukannya
dipertentangkan, namun diakui sebagai bagian dari satu hal yang sama.
Seorang sahabat Pastur Katolik punya cerita menarik tentang Tuhan. Suatu hari seorang anak bernama Rio mengambil permen Mamanya tanpa pemberitahuan. Kontan saja Mamanya marah sambil bertanya uring-uringan: Rio, kamu tidak melihat Tuhan ketika mencuri permen Mama?. Dengan sejuk dan teduh Rio
menjawab: Lihat Ma!. Mendengar jawaban seperti ini, Mamanya tambah
marah sambil bertanya balik: Tuhan bilang apa sama kamu?. Lagi-lagi anak
polos ini menjawab sejuk dan lembut: Tuhan bilang boleh ambil dua!.
Mendengar jawaban seperti ini, Mama Rio semakin kalap: Kamu tidak tahu
Tuhan bisa murka gara-gara kamu mencuri!.
Sebuah
cerita inspiratif kalau Tuhan bisa terlihat dalam berbagai wajah.
Tergantung pada kebersihan batin seseorang di dalam dirinya. Dalam batin
yang bersih dan jernih seperti Rio,
Tuhan berwajah pemurah. Dalam batin Mama Rio yang pemarah, Tuhan
terlihat berwajah pemarah. Dan siapa saja yang memaknai dalam-dalam Bhur Bwah Swah akan memiliki batin yang shanti. Terutama karena tidak tertarik lagi mempertentangkan Tuhan dengan setan.
Nyegara Gunung
Searah dengan Bhur Bwah Swah, tetua Bali membangun tempat ibadah dengan konsep Nyegara Gunung. Di mana gunung atau bukit dipeluk oleh danau atau samudera, di sana
para tetua membangun tempat sembahyang. Pura Luhur Uluwatu, Tanah Lot,
Ponjok Batu, Ulun Danu Batur, Ulun Danu Beratan, Sila Yukti, Pulaki,
hanyalah sebagian bukti dalam hal ini. Biasanya di tempat-tempat suci
ini bisa dilihat matahari terbit atau tenggelam yang menyatu dengan
keindahan.
Gunung
atau bukit adalah simbolik maskulin. Samudera atau danau adalah lambing
feminim. Ketika keduanya berpelukan mesra, ia tidak saja menjadi awal
penciptaan, juga menjadi awal keindahan. Entah ada hubungannya atau
tidak, sesajen orang Bali
semuanya ditata indah. Ia yang hanya memandang dengan mata biasa, akan
melihat tumpukan buah, bunga, janur yang dirangkai indah agar manusia
melihat wajah kehidupan yang indah. Ia yang memandang dengan mata batin,
melihat ada banyak pesan keindahan yang disembunyikan di balik sesajen
yang diukir indah.
Ini pun lagi-lagi bercerita tentang Parama Shanti.
Dualitas seperti baik-buruk, benar salah dll (disimbulkan oleh konsep
Nyegara Gunung) tersedia tidak untuk dipertentangkan. Melainkan untuk
dipadukan rapi menjadi keindahan. Sehat itu indah, karena dengan badan
sehat lebih banyak tugas kehidupan yang bisa dilaksanakan. Sakit juga
indah, terutama karena sakit adalah kesempatan untuk membayar
hutang-hutang karma. Kaya itu baik karena banyak hal positif yang bisa
dilakukan dengan kekayaan. Miskin juga baik, secara lebih khusus karena
kemiskinan adalah guru kerendahhatian.
Inilah
Parama Shanti, keadaan batin yang melihat semuanya indah sekaligus
baik. Seorang mahasiswa bertanya pada gurunya, kalau semuanya baik,
apakah korupsi dan selingkuh juga baik? Dengan tersenyum lembut gurunya
menjawab: memandanglah seperti langit, bertindaklah seperti bumi. Parama Shanti terjadi
jika manusia memiliki wawasan setinggi langit, bersikap serendah hati
bumi. Bila langit mengajarkan semuanya baik, bumi mengajarkan ada hukum
yang bekerja di alam ini. Hukum ini sesederhana menyentuh air basah,
menyentuh api terbakar. Ia yang menanam pisang dapatnya pisang, siapa
yang menanam ketela dapatnya ketela. Bila berbuat baik, kebahagiaan
buahnya, jika korupsi ujung-ujungnya kantor polisi. Berjumpanya langit
dan bumi, seperti inilah Parama Shanti.
Parama Shanti sehari-hari
Penyembuhan
ala Barat, dimulai dengan asumsi bahwa hidup adalah tidak komplit.
Itulah sebabnya diperlukan terapi, operasi, pengobatan. Di mana banyak
hal di dalam sini yang dibuang melalui operasi, banyak hal luar seperti
obat yang dimasukkan ke dalam sini. Dan umat manusia sudah melihat apa
yang terjadi di tahun 2009 ini. Pemanasan global, perang, bencana,
terorisme, keruntuhan keuangan, bunuh diri, perceraian sampai dengan
mantan presiden AS George W. Bush yang mengakhiri jabatannya dengan
dilempar sepatu.
Kita
semua berhutang banyak pada peradaban Barat lengkap dengan ilmu
pengetahuan dan teknologinya. Tidak mungkin umat manusia bisa semaju
sekarang tanpa iptek. Namun di tengah-tengah peradaban yang lagi
bergoyang, mungkin ini saatnya orang Timur kembali ke akarnya di Timur.
Di
Bali, ketika tantangan berat menghadang tetua memberi contoh untuk
kembali ke Pura. Berbicara Pura tidak mungkin lepas dari Pura Besakih.
Dan di Besakih diwariskan, titik pusat Pura Besakih adalah Pura
Penataran Agung. Bagian teratas dari kawasan Pura Penataran Agung adalah
Kiwa-Tengen. Di mana jelas sekali digambarkan di mana Kiwa (kekuatan kiri yang kerap diberi judul negatif seperti black magic) tidak diposisikan lebih rendah dari Tengen (kekuatan kanan yang kerap disebut positif). Keduanya diberi pelinggih amat serupa dengan tingkat ketinggian (luan-teben) yang sama. Serta di antara keduanya tidak berisi apa-apa.
Ada yang menyebut kekosongan di tengah kiwa-tengen ini sebagai Shunya (keheningan), ada juga yang menyebutnya sesarining Dharma (inti sari ajaran). Tetua Bali menyebutnya Hyang Embang (Yang Maha Sunyi).
Dalam terang cahaya Kiwa-Tengan, mungkin
ini saatnya untuk mendidik diri bahwa kehidupan sudah komplit sejak
awal hingga akhir. Semua ada tempatnya, semua ada putaran waktunya.
Hanya keikhlasan yang menghantar manusia ke wajah kehidupan yang
menawan.
Itu
sebabnya semua agama mengajarkan umatnya untuk bersyukur. Dalam setiap
kejadian ada sidik jari dan bimbingan-bimbingan Tuhan. Inilah Parama Shanti sehari-hari.
Tidak ada kebetulan, hanya bimbingan-bimbingan. Tidak ada kesalahan,
hanya makna yang belum dimengerti. Seorang guru pernah berpesan pada
muridnya: Be kind when you meet the power of darkness, theyre not bad. Simply understand that theyre uninformed. Berbaik
hatilah bila berjumpa kekuatan-kekuatan kegelapan. Mereka tidak jahat.
Pada waktunya mereka akan menemukan cahaya terang pengertian.
Mungkin itu sebabnya di Bali
kita merayakan tahun baru dengan hari raya Nyepi. Tatkala semua
(baik-buruk, sukses-gagal, suci-kotor) berguna dan bermakna, lidah jadi
kelu. Tidak ada lagi yang ditanyakan apa lagi diperdebatkan. Dalam
keadaan demikian, bukankah yang tersisa hanya hening, sepi dan shanti yang mendalam?
Sumber : http://gedeprama.blogdetik.com
Comments
Post a Comment