Cahaya Sempurna

Cahaya Sempurna

 

Sejarah manusia adalah sejarah harapan dan kekecewaan. Dari dulu manusia berharap agar kehidupan damai, penuh kasih sayang. Tapi yang terjadi, GA Buddha Shakyamuni pernah diracun, Yesus Kristus disalib, Mahatma Gandhi ditembak. Di zaman kita, Pakistan marah sama India, India tidak rukun dengan China, Iran membenci Israel, Israel memperlakukan Palestina secara tidak manusiawi. Semuanya menjalin kegelapan-kegelapan kekecewaan.

Hening Bening
Daftar Guru boleh diperpanjang, ilmu pengetahuan dan teknologi boleh semakin canggih, tapi sejarah tidak berubah. Makanya, seorang sahabat pemimpin redaksi sebuah majalah spiritual di Bali - setelah gemas memberitakan terlalu banyak konflik - pernah bertanya tidak sabar: adakah solusi? Sejujurnya, sifat alamiah setiap ciptaan selalu berpasang-pasangan. Serupa siang berpasangan dengan malam, batu keras berpasangan dengan air lembut di sungai. Dianalisis maupun tidak, memang demikianlah adanya. Bahkan tatkala zaman melahirkan nabi pun - contoh kisah Sang Rama dengan Rahwana - tetap sepasang ciptaan lahir. Orang India menyebut Sang Rama benar, orang Srilanka meyakini Rahwana yang benar. Dalam bahasa tetua Bali: nak mula keto (memang demikianlah adanya).

Setiap penggali ke dalam diri yang sudah melewati banyak lumpur, kemudian bertemu sumur hening bening mengerti, sifat alamiah ciptaan yang berpasang-pasangan di luar (baca: tatkala belum digali) kelihatannya seperti bertentangan. Ini yang menyebabkan banyak manusia awam yang stres karena menabrakkan benar dengan salah. Segelintir manusia bahkan berani membunuh karena merasa diri benar dan orang lain salah. Tapi di kedalaman yang dalam, kedua pasangan ini saling membutuhkan. Orang baik sesungguhnya membutuhkan orang jahat, karena ada orang jahat maka orang baik dihormati. Menghancurkan salah satu unsur pasangan - contohnya melenyapkan kejahatan sepenuhnya - sama dengan menghancurkan kebaikan. Bila kejahatan tiada, kebaikan lenyap karena tanpa pembanding.

Itu sebabnya Guru spiritual tingkat tinggi matanya bebas penghakiman, sikapnya seperti bulan purnama yang menerangi tanpa membeda-bedakan. Terutama karena sudah menggali, keduanya saling membutuhkan, keduanya saling menerangi. Disamping itu, beda antara baik-buruk hanya setipis sehelai rambut. Dalam putaran waktu yang panjang kerap terlihat, musibah di suatu hari bisa jadi berkah di waktu lain, teman dalam satu kehidupan berubah jadi lawan di kehidupan lain. Itu sebabnya, banyak sahabat meditasi yang sudah menangkap esensinya kemudian berterimakasih sekali dengan obat S3 (senyum senyum saja). Meminjam Rumi, semua dikirim sebagai pembimbing dari sebuah tempat yang tidak terbayangkan. Inilah buah meditasi, batin yang hening bening.

Guru Sebagai Cahaya
Sebagian sahabat yang sudah hening bening kadang bertanya: kenapa alam kerap memberi tanda berupa cahaya? Sederhananya, ia yang di dalamnya cahaya (serupa sintesis positif-negatif yang menghasilkan cahaya) bisa melihat cahaya di mana-mana, ia yang di dalamnya kegelapan melihat kegelapan di mana-mana. Itu sebabnya, di semua agama tersedia berlimpah pencari cahaya. Di Islam disebut Nur, di Hindu disebut Teja, di Buddha ada yang memberi nama Jiyoti, di Gereja kerap terdengar pesan “I am the Light“. Berbagai pendekatan yang tersedia untuk menjumpai sang Cahaya.

Eiji Yoshikawa (dalam karya agung berjudul Musashi) bertutur terang tentang perjalanan menemukan kesempurnaan di jalan samurai. Tangga perjalanan berturut-turut dimulai dengan tanah, air, api, angin, langit, bulan purnama dan matahari, serta puncak perjalanannya disebut Cahaya Sempurna. Serangkaian tangga-tangga rahasia yang menggetarkan. Tangganya berjumlah tujuh, awalnya tanah berevolusi menjadi air, api, angin, langit, kemudian langit berhiaskan cahaya bulan purnama dan matahari, puncaknya baru Cahaya Sempurna.

Sejujurnya, setiap pencari Cahaya Sempurna itu unik. Dalam kisah Musashi, ia dimulai dengan seorang manusia dengan kekuatan otot yang mengagumkan. Berulang-ulang dalam perjalanannya, calon samurai ini diingatkan oleh Guru hidup, Guru simbolik, Guru buku suci maupun Guru rahasia: “salah besar menganggap bahwa kekuatan adalah satu-satunya modal untuk menemukan kesempurnaan”. Untuk itulah, Musashi tekun mendidik dirinya agar semakin lembut dan semakin lembut.

Tidak mudah merubah kekuatan otot menjadi kelembutan hati. Musashi pernah diikat di atas pohon berhari-hari oleh Gurunya. Pernah dimasukkan ke ruang perpustakaan selama tiga tahun. Berkali-kali bertatapan langsung dengan maut melalui pertempuran yang membawa resiko mati. Musashi bahkan sempat frustrasi sehingga mengejar seorang Guru zen. Di puncak frustrasinya, ia sujud hormat ke kaki Gurunya, dan Gurunya hanya menggambar lingkaran sempurna (mandala) di tanah. Itu pun bukan akhir perjalanan, terutama karena mandalanya belum membadan. Agar mandalanya membadan, Musashi menghabiskan banyak waktu di alam terbuka seperti mendaki puncak gunung sendiri, berendam di sungai yang teramat dingin, mengolah tanah tandus menjadi lahan subur. Dan yang paling penting keras sekali mendidik diri untuk semakin baik hati sekaligus rendah hati.

Puncak kelembutan tercapai beberapa saat sebelum melakukan pertarungan tingkat tinggi melawan Sasaki Kojiro. Berbeda dengan samurai umumnya yang mau bertarung kemudian mempersiapkan pedang dan lembing, Musashi hening bening melukis gambar alam, di perahu dalam perjalanan menuju tempat pertarungan ia mengukir kayu sebagai tanda menyatu sempurna dengan mandala. Sebagaimana lingkaran sempurna sebagai lambang mandala, ia tanpa awal tanpa akhir. Kelahiran bukan awal, kematian bukan akhir. Kemenangan bukan musuhnya kekalahan, keduanya berputar silih berganti. Semuanya mengalir melukis kesempurnaan yang sama. Dan begitu pertarungan terjadi, Musashi kesurupan, tidak bisa memisahkan mana langit mana bumi, mana kawan mana lawan, mana diri mana bukan diri. Dalam bahasa spiritual, pengalaman ini dikerangkakan dengan purification, perfection, union. Diawali dengan memurnikan diri dari segala bentuk penghalang. Murni dari penghalang berupa kualitas-kualitas negatif, murni juga dari segala bentuk pengetahuan yang datang dari luar. Dilanjutkan dengan menyempurnakan kualitas positif seperti kasih sayang (compassion). Kemudian baru mungkin lahir pengalaman kebersatuan. Dalam kebersatuan inilah semua pasangan - termasuk diri-musuh, menang-kalah, langit-bumi - berpelukan saling menerangi. Akibatnya hanya dalam beberapa gerakan lawannya tumbang. Begitu lawannya tumbang, baru sadar bahwa dirinya Musashi.

Dalam bahasa yang lebih mudah dicerna, pemurnian adalah langkah awal. Ia diwakili angka nol. Angka nol ini lebih sempurna lagi tatkala ia dimaknakan sebagai sesuatu yang tidak saja bebas dari energi negatif, tapi juga bisa memadukan positif-negatif (baca: kesempurnaan). Sebagai akibatnya, angka nol tidak menjadi wakil kehidupan yang pasif apatis tapi juga memancarkan cahaya. Sebagaimana bulan purnama dan matahari yang secara alamiah memancarkan cahaya, ia yang sampai di sini secara alamiah memancarkan cahaya belas kasih (compassion). Dan belas kasih yang sempurna itulah menjadi sebuah pengalaman kebersatuan (baca: angka satu). Akibatnya, sebagaimana bilangan-bilangan dalam matematika, hidup pun bergerak dinamis antara angka nol dan angka satu.

Dan salah satu jembatan agar menyatu dengan Cahaya Sempurna bernama Guru Yoga. Sejenis praktik spiritual mendalam agar seorang murid menyatu dengan Guru (Guru hidup, Guru buku suci, Guru simbolik dan Guru rahasia). Berkaitan dengan praktik Guru Yoga, waktu paling magis melakukan Guru Yoga adalah tatkala bulan purnama tenggelam di barat, matahari terbit di timur, saat itulah cahaya sempurna berupa Guru*) dijunjung. Cahaya absolut diwakili matahari, cahaya relatif diwakili bulan purnama, di atas keduanya muncul Guru hidup sebagai manifestasi Cahaya Sempurna. Bila Cahaya Sempurna itu bertubuhkan dewa misalnya, manusia akan sulit menerima pelajaran karena alam dan bahasanya berbeda. Oleh karena itu, di Tantra Tibet Guru hidup berbadankan manusia dijunjung sebagai Cahaya Sempurna karena di tubuh itu Cahaya Sempurna bisa dimengerti dengan bahasa dan logika manusia. Ini sebabnya, Musashi sangat menghormati Guru hidup seperti Takuan Soho. Tidak mungkin keluar dari terowongan gelap tanpa bantuan cahaya. Ia sama tidak mungkinnya dengan membadankan Cahaya Sempurna tanpa bantuan Guru. Kadang ada yang bertanya, apa ciri Guru yang telah membadankan Cahaya Sempurna? Salah satunya, sudah membadankan ternyata panca kilesha (ketidaktahuan, kemarahan, kesombongan, nafsu dan iri) yang dibenci semua orang awam, adalah Panca Dhyani Buddha (Vairochana, Aksobya, Ratnasambhawa, Amitaba, Amogasiddhi). **) Bila kemarahan dan kesombongan saja sudah terlihat mewakili kesempurnaan, tentu mudah menemukan kesempurnaan dalam hal-hal baik.

Dalam bimbingan cahaya sempurna seperti inilah, kemudian sejarah berhenti hanya berisi harapan dan kekecewaan. Kehidupan kemudian berhiaskan S3 (senyum senyum saja). Di dalam ia hening bening, di luar ia bergerak mewakili kesempurnaan kasih sayang (compassion) yang sama.

http://gedeprama.blogdetik.com

Comments